Mungkin karena terlalu mengenaskan atau membingungkan. Entah. Aku jadi tidak ingin mengingat-ingat kehidupanku. Jadi, aku tidak akan menceritakan apa pu soal itu lagi.
Sebagai gantinya aku akan menuliskan cerpenku yang berhasil masuk nominasi Rohto Golden Award tahun 2013 kemarin, yang, btw, hadiahnya belum aku terima sampai sekarang. Tapi aku jiga tinak mau membicaralan itu karena hanya akan membuatku menjadi orang jahat masa kini (itu lho, yang suka menghujat di medsos).
Oh iya, kerena cerpen ini pernah mendapat cap absurd dari teman-teman yang pernah membacanya, jadi aku mohon kesediaannya untuk memberi komentar, ya......
***
DIA DEBU
Oleh: Rurun Sofiyani
Kamu
harus menjauhinya!
Perintah Ayahanda kembali terngiang
di telingaku ketika aku dan dia berpapasan di persimpangan itu. Bulan
menggantung di langit yang terbebas dari awan. Aku berjalan dari tenggara dan
dia dari selatan. Saat yang tepat menurut ramalan adat. Ini tandanya aku dan
dia jodoh.
Dan itu baik.
Mengenai jodoh ini, aku mempunyai beberapa
kisah yang menarik. Beberapa
tahun lalu, bapa dan bundaku bertemu di persimpangan ini, persis ketika bulan
menggantung di langit yang terbebas dari awan. Keesokan harinya aku lahir. Kata
para Kami, bapa dan bundaku
jodoh.
Di lain kisah, Menteri Perang dan Menteri Perdamaian juga bertemu di persimpangan
ini. Kata para Migran, mereka bertemu di saat yang sama seperti saat bapa dan
bundaku bertemu. Tapi, saat itu aku tidak percaya. Lantas aku membuat kesepakatan
dengan beberapa Migran. Sialnya, keesokan harinya penjajahan di Sentosa
berakhir begitu saja. Sebagai konsekuensi, aku harus merelakan taringku.
Dari kisah itu aku menyimpulkan
bahwa jodoh itu hal baik. Yah, walau aku tidak terlalu suka Sentosa kembali
berdiri. Aku juga tidak terlalu suka lahir. Aku rasa dunia Bawah lebih
menyenangkan. Tapi, jika aku tidak lahir, Kami tidak akan mempunyai Panglima
secakap diriku. Jadi, aku akan tetap menyimpulkan jodoh itu baik.
Sayangnya, bagiku kesimpulan
bukanlah ideologi yang harus dijalankan. Aku rasa jodoh itu baik, tapi bukan
berarti aku mau jodoh! Dan membayangkan dia akan jodoh denganku sudah membuatku
mual. Aku rasa sebentar lagi ususku akan keluar.
Menurut hukum adat, harusnya saat
ini aku melipir ke pinggir. Pokoknya tidak ada satu Kami pun yang boleh berada
di dekat dia. Jika ada yang melanggar, Kami itu akan dihukum sesuai titah
Ayahanda.
Tapi, aku tetap tidak melakukannya.
Melipir ke pinggir maksudku. Aku ini panglima, kenapa aku harus merendahkan
diri? Toh aku telah kehilangan satu taringku. Hukuman apa lagi yang bisa
dititahkan Ayahanda? Tidak ada satu panglima pun yang kehilangan dua taringnya.
Ah! Ah! Aku kini malah berdiri di
tengah jalan.
Di depanku, dia masih berjalan
menunduk. Kedua kakinya
berderit di marmer berkarat. Tepat beberapa mili sebelum menabrakku, dia berhenti.
Bayang bulan yang menggantung di langit terbebas awan jatuh di tudungnya.
Bayang itu juga jatuh di tudungku yang melambai.
Sial! Aku rasa aku dan dia memang
jodoh.
Beberapa menit, dia masih menunduk.
Aku kira dia akan memintaku menyingkir atau apa, tapi sampai kakiku ikut
berkarat, dia masih menunduk. Ah, atau mungkin dia malu?
Beberapa tahun ini memang ada kabar
baru dari para Burung. Aku tidak akan mempercayai ini jika yang menyebarkannya
para Migran, mereka penipu! Ingat taringku bukan? Tapi para Burung ini jelas
berbeda. Mereka jujur, dan pastinya akurat.
Kata beberapa Burung yang kadang
hinggap dan meminum kopi dariku, dia telah berubah menjadi Debu. Dulu aku tidak
tahu apa itu Debu. Lalu, aku menemui Ayahanda dan menanyakannya. Kata Kami tua
itu, Debu adalah Mereka yang tidak diinginkan Kami atau yang lain. Karena itu
Debu jarang sekali terlihat. Debu itu langka. Kadang, karena tidak kuat
menerima penolakan, para Debu menyingkir dari kehidupan Tengah. Kebanyakan dari
mereka berpindah ke Kiri. Sebagian yang lain bersembunyi di suatu tempat. Jadi,
jika ada Kami yang tiba-tiba muncul di tempat-tempat sepi, segera siagakan
dirimu! Mungkin dia adalah Kami yang berubah menjadi Debu.
Ada satu hal yang juga aku tanyakan
saat itu; kenapa para Debu harus dijauhi? Sudah bertahun-tahun para Kami hidup
dengan bangsa-bangsa lain. Bahkan Kami bisa tahan hidup berdampingan dengan
para Migran yang luar biasa merepotkan. Tapi kenapa para Debu ini diperlakukan
berbeda? Apa yang salah dengan para Debu?
Si Kami tua itu kembali mendesah. Ayahanda
menjawab bahwa para Debu adalah produk kutukan. Para Debu tidak akan pernah
bisa kembali ke dunia Bawah karena para Debu tidak melahirkan apapun.
Oke, aku rasa tidak ada yang salah
dengan yang ini. Toh banyak dari Kami yang lebih memilih tinggal di Tengah.
Tapi, Ayahanda menambahkan bahwa
para Debu bisa menularkan kutukannya. Mereka seperti virus.
Dan sejak saat itu aku menambah
kesiagaanku. Bahkan saat di telaga pun aku membawa taringku.
Aku tidak pernah menyangka bahwa dia
juga akan berubah menjadi Debu. Aku dulu cukup mengenalnya. Dia Kami yang baik.
Setidaknya dia selalu menyimpan taringnya dengan baik. Tentu sifatnya bertolak
belakang dariku. Aku lebih suka berada di atas siapa pun, karena itulah aku
tidak segan memperlihatkan taringku pada Kami atau kaum yang lain.
Karena itulah aku sangsi ada Debu
yang sengaja menularkan kutukannya pada dia. Atau kemungkinan yang paling
mungkin, dialah yang mendekati salah satu Debu. Kadang dia bisa berlaku
seolah-olah dia masih tinggal di dunia Bawah.
Ah, jangan-jangan dia memang sudah
terjangkit dari dulu? Tidak ada Kami yang bersikap seolah masih tinggal di
dunia Bawah. Mungkin semua Debu menganggap Tengah adalah dunia Bawah, karena
itu tidak ada satu pun dari Debu yang bisa kembali ke dunia Bawah. Para Debu bisa, tapi mereka tidak mau.
Tapi kalau benar begitu, apa bedanya
para Debu dengan Kami yang gila itu?
Kepalaku jadi sakit.
Aku kembali memperhatikan dia yang
masih menunduk. Suasana jadi mengerikan. Dari jarak ini aku bisa membayangkan
hal yang tidak-tidak. Bisa saja dia mengeluarkan taringnya dan menusukku. Aku
tidak akan bisa melawannya karena taringku hilang satu. Dan lagi, aku tidak
tahu apakah taringnya besar atau kecil. Dia tidak pernah memperlihatkan
taringnya.
Ah, tapi jika taringnya lebih besar
dariku, tidak mungkin aku yang menjadi panglima di sini. Lagi pula, dia kan
masih menganggap bahwa ini dunia Bawah!
Ah, aku terlalu banyak berpikir.
Jika dia melakukan sesuatu yang tidak aku harapkan, aku bisa melawanya bukan?
Atau yang lebih buruk (baginya) aku bisa membunuhnya.
Dulu saat pertama kali aku mengenal
apa itu Debu, aku pikir mereka adalah mahluk abadi. Semua tahu Kami yang
melahirkan sesuatu akan kembali ke dunia Bawah. Tapi, semua juga tahu bahwa
para Debu tidak bisa kembali ke sana, entah apa alasannya. Karena itulah aku
berpikir para Debu akan selamanya tinggal di Tengah, atau Kiri, atau tempat
persembunyiannya. Tapi, sebelum aku berpapasan dengan dia di persimpangan ini,
aku melihat satu Debu berubah menjadi debu. Ya, aku tahu. Setiap Kami yang akan
kembali ke dunia Bawah akan
berubah menjadi cahaya, tapi Debu tadi tidak, dia berubah menjadi debu. Aku sekarang tahu
kenapa para Debu dipanggil Debu, karena pada akhirnya, mereka akan menghilang
sebagai debu. Mengerikan. Aku
tidak bisa membayangkan jika aku yang seperti itu.
Tunggu! Aku mengingat sesuatu.
Beberapa tahun lalu, aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Ya! Karena ada satu
Kami yang tiba-tiba begitu dekat dengannya. Oke, memang tidak ada yang aneh,
aku pun menjalin hubungan dekat dengan Kami yang lain. Tapi, Kami yang ini
dekat dengannya setelah para Burung menyebarkan berita bahwa dia berubah
menjadi Debu. Jelas-jelas ini melanggar hukum adat.
Beberapa waktu kemudian, para Burung
menyebarkan berita baru. Ayahanda telah mengeluarkan titahnya. Kami itu harus
menyerahkan taringnya. Dan setelahnya, Kami yang kehilangan taring itu
menghilang.
Aku ingin bertanya padanya,
kemanakah perginya Kami itu? Mungkin aku terdengar begitu ingin ikut campur,
dan itu bukan diriku yang biasanya. Tapi bagaimanapun juga, Kami itu adikku.
Adik yang aku peroleh
dari bundaku. Jadi, jika aku tidak menemukannya, bundaku tidak akan bisa
kembali ke dunia Bawah. Dan bapaku tidak akan tenang di sana.
Sialnya, baru aku membuka mulut,
semilir angin menghempaskan tudungnya. Kini surai kelabunya terurai dimandikan
bayang bulan yang tidak tertutup awan.
Satu hal lagi perbedaan yang aku
sadari. Kalau benar dia salah satu Debu (dan aku yakin itu), maka setiap Debu
pastilah memiiki surai yang kelabu. Ini salah satu tanda. Setiap suku memiliki
warna surai yang berbeda-beda. Kami misalnya, memiliki surai legam yang bisa
membutakan mata, karena itu Kami selalu memakai tudung. Beda dengan para Migran
yang surainya merah terbakar. Para Burung sendiri mempunyai surai putih yang
indah. Dan untuk para Debu, aku yakin semua surainya kelabu. Persis seperti
namanya.
Tapi nama itu bukan nama asli para
Debu. Nama itu hanya pemberian Kami.
Tapi para Debu tidak sekali pun
keberatan.
Tapi entah kenapa aku mendekat
padanya.
Peringatan Ayahanda kembali
terngiang di telingaku. Kamu harus
menjauhinya! Lalu tidak berhenti di situ, aku juga mendengar suara lain. Ketahuilah, jika kamu terlalu dekat
denganya, bisa saja kamu berubah menjadi Debu.
Tapi,
aku tetap tidak melakukannya. Menjauhinya maksudku. Aku tidak akan melakukan
hal yang tidak aku inginkan. Aku ini panglima!
Dia masih menunduk. Tudungnya masih
terlepas. Akan sangat bahaya jika ada Kami, atau yang paling parah, para Burung
yang melihatnya. Aku tidak tahu kenapa aku begitu perduli padanya, tapi aku
tetap menarik tudung itu dan mengembalikannya. Sekilas, sekilas saja aku dapat
merasakan lembut pipinya yang membelai tanganku. Dingin, tapi menyenangkan.
Rupanya dia juga masih belia. Seperti aku.
Ya, aku tahu betul mana Kami yang
belia mana yang gila. Maksudku dengan gila adalah Kami yang tidak ingin kembali
ke dunia Bawah. Kami gila itu tetap ingin tinggal di Tengah. Tidak ada satupun
dari Kami-Kami itu yang melahirkan apapun karena takut dipaksa kembali ke dunia
Bawah. Dan tugasku sebagai panglima untuk menghabisi para Kami gila itu.
Aku baru sadar terlalu banyak
membicarakan Kami, padahal dia bukanlah Kami lagi. Tapi aku tidak banyak tahu
tentang para Debu. Aku rasa aku harus memulai mencari tahu dari Debu satu ini.
Aku yakin dia akan jadi Kami yang
mempunyai masa depan bagus di dunia Bawah. Aku yakin aka ada banyak jodoh
pilihan yang ingin kembali bersamanya. Aku juga yakin dia akan menjadi bapa
yang baik seperti bapaku. Aku yakin, yakin sekali, seandainya dia belum menjadi
Debu. Tapi toh tidak ada salahnya
juga
jadi Debu bukan?
Ah, aku jadi terdengar seperti Kami
gila. Benar-benar gila!
Saat dia mengangkat wajahnya,
genderang itu bertabuh dengan keras. Ini bukan genderang perang, aku yakin, ini
genderang yang lain. Apakah setelah ini dia akan memintaku melipir?
Anehnya aku semakin mendekat.
Aku rasa kutukan itu tertulah
padaku. Tapi toh saat ini aku merasa tidak apa-apa. Jadi Debu pun tidak
apa-apa. Benar, kan? Tidak apa-apa?
Tapi kemudian aku ingat tujuanku ke
persimpangan ini adalah untuk menemui jodoh pilihan milikku. Lagi pula aku ini
panglima! Dan selama ini tidak ada panglima yang tidak kembali ke dunia Bawah,
lebih tepatnya, panglima memang harus kembali ke dunia Bawah. Inilah tugas
terakhirku. Ah, ini mimpiku.
Jika aku dan dia memang jodoh, dan
mungkin begitu mengingat apa yang tertulis di hukum adat, aku tetaplah tidak
bisa bersamanya. Aku tidak akan bisa kembali bersamanya. Lagi pula Debu tidak
bisa kembali! Dan jodoh tidak bisa berpisah. Maka aku tidak menerima jodoh ini.
Ah, memang sejak kapan aku menerima
jodoh?
Toh sejak awal jodoh itu tidak
benar. Tidak ada yang tahu hal ini, tapi aku tahu. Beratus-ratus tahun lalu,
jodoh diawali dari kisah tragis. Dua Kami bertemu di persimpangan ini, tepat
ketika bulan menggantung di langit yang tidak tertutup awan. Bayang-bayang
bulan jatuh di tudung keduanya. Maka, mereka saling menarik satu sama lain.
Sayang, saat tudung salah satu Kami terhempas, surai kelabulah yang terlihat di
sana. Setelahnya, dia berubah menjadi debu. Kami satunyalah yang menusuknya.
Awan tembali menutup bayang-bayang
bulan. Aku rasa persimpangan ini telah mengaku kalah. Maka aku menarik diri dan
melipir ke pinggir. Anehnya, dia masih menunduk di sana. Perlahan,
digerakkannya mata merah itu padaku.
Aku masih merasa tertarik.
Tapi aku tetap meyakini bahwa kini
menemui jodoh pilihan milikku dan melahirkan sesuatu adalah hal terbaik. Bukan,
bukan, hal terbaik saat ini adalah kembali ke dunia bawah.
Aku kembali melangkah di marmer yang
berkarat. Di belakang, aku meninggalkan dia, aku meninggalkan segala hal
tentang Debu, tentang Kami, tentang jodoh, tentang adikku yang menghilang,
tentang segala ketertarikan ini.
Yang tidak bisa aku tinggalkan
hanyalah satu hal: kenapa kisah jodoh itu bisa kembali terjadi? Kenapa kisah
itu harus menarik
satu Kami yang sama?
Aku.
Baik-buruk,
benar-salah. Tidak ada hal yang pasti
mengenai
itu semua. Yang ada hanyalah pandangan dan pilihan kita.
Juga
keyakinan.
0 komentar:
Posting Komentar