Sabtu, 30 Agustus 2014

DIA DEBU: Cerpen -yang katanya- Absurd yang Berhasil Masuk Rohto

Mungkin karena terlalu mengenaskan atau membingungkan. Entah. Aku jadi tidak ingin mengingat-ingat kehidupanku. Jadi, aku tidak akan menceritakan apa pu soal itu lagi.

Sebagai gantinya aku akan menuliskan cerpenku yang berhasil masuk nominasi Rohto Golden Award tahun 2013 kemarin, yang, btw, hadiahnya belum aku terima sampai sekarang. Tapi aku jiga tinak mau membicaralan itu karena hanya akan membuatku menjadi orang jahat masa kini (itu lho, yang suka menghujat di medsos).

Oh iya, kerena cerpen ini pernah mendapat cap absurd dari teman-teman yang pernah membacanya, jadi aku mohon kesediaannya untuk memberi komentar, ya......

***

DIA DEBU
Oleh: Rurun Sofiyani

Kamu harus menjauhinya!
            Perintah Ayahanda kembali terngiang di telingaku ketika aku dan dia berpapasan di persimpangan itu. Bulan menggantung di langit yang terbebas dari awan. Aku berjalan dari tenggara dan dia dari selatan. Saat yang tepat menurut ramalan adat. Ini tandanya aku dan dia jodoh. Dan itu baik.

            Mengenai jodoh ini, aku mempunyai beberapa kisah yang menarik. Beberapa tahun lalu, bapa dan bundaku bertemu di persimpangan ini, persis ketika bulan menggantung di langit yang terbebas dari awan. Keesokan harinya aku lahir. Kata para Kami, bapa dan bundaku jodoh. Di lain kisah, Menteri Perang dan Menteri Perdamaian juga bertemu di persimpangan ini. Kata para Migran, mereka bertemu di saat yang sama seperti saat bapa dan bundaku bertemu. Tapi, saat itu aku tidak percaya. Lantas aku membuat kesepakatan dengan beberapa Migran. Sialnya, keesokan harinya penjajahan di Sentosa berakhir begitu saja. Sebagai konsekuensi, aku harus merelakan taringku.
            Dari kisah itu aku menyimpulkan bahwa jodoh itu hal baik. Yah, walau aku tidak terlalu suka Sentosa kembali berdiri. Aku juga tidak terlalu suka lahir. Aku rasa dunia Bawah lebih menyenangkan. Tapi, jika aku tidak lahir, Kami tidak akan mempunyai Panglima secakap diriku. Jadi, aku akan tetap menyimpulkan jodoh itu baik.
            Sayangnya, bagiku kesimpulan bukanlah ideologi yang harus dijalankan. Aku rasa jodoh itu baik, tapi bukan berarti aku mau jodoh! Dan membayangkan dia akan jodoh denganku sudah membuatku mual. Aku rasa sebentar lagi ususku akan keluar.
            Menurut hukum adat, harusnya saat ini aku melipir ke pinggir. Pokoknya tidak ada satu Kami pun yang boleh berada di dekat dia. Jika ada yang melanggar, Kami itu akan dihukum sesuai titah Ayahanda.
            Tapi, aku tetap tidak melakukannya. Melipir ke pinggir maksudku. Aku ini panglima, kenapa aku harus merendahkan diri? Toh aku telah kehilangan satu taringku. Hukuman apa lagi yang bisa dititahkan Ayahanda? Tidak ada satu panglima pun yang kehilangan dua taringnya.
            Ah! Ah! Aku kini malah berdiri di tengah jalan.
            Di depanku, dia masih berjalan menunduk. Kedua kakinya berderit di marmer berkarat. Tepat beberapa mili sebelum menabrakku, dia berhenti. Bayang bulan yang menggantung di langit terbebas awan jatuh di tudungnya. Bayang itu juga jatuh di tudungku yang melambai.
            Sial! Aku rasa aku dan dia memang jodoh.
            Beberapa menit, dia masih menunduk. Aku kira dia akan memintaku menyingkir atau apa, tapi sampai kakiku ikut berkarat, dia masih menunduk. Ah, atau mungkin dia malu?
            Beberapa tahun ini memang ada kabar baru dari para Burung. Aku tidak akan mempercayai ini jika yang menyebarkannya para Migran, mereka penipu! Ingat taringku bukan? Tapi para Burung ini jelas berbeda. Mereka jujur, dan pastinya akurat.
            Kata beberapa Burung yang kadang hinggap dan meminum kopi dariku, dia telah berubah menjadi Debu. Dulu aku tidak tahu apa itu Debu. Lalu, aku menemui Ayahanda dan menanyakannya. Kata Kami tua itu, Debu adalah Mereka yang tidak diinginkan Kami atau yang lain. Karena itu Debu jarang sekali terlihat. Debu itu langka. Kadang, karena tidak kuat menerima penolakan, para Debu menyingkir dari kehidupan Tengah. Kebanyakan dari mereka berpindah ke Kiri. Sebagian yang lain bersembunyi di suatu tempat. Jadi, jika ada Kami yang tiba-tiba muncul di tempat-tempat sepi, segera siagakan dirimu! Mungkin dia adalah Kami yang berubah menjadi Debu.
            Ada satu hal yang juga aku tanyakan saat itu; kenapa para Debu harus dijauhi? Sudah bertahun-tahun para Kami hidup dengan bangsa-bangsa lain. Bahkan Kami bisa tahan hidup berdampingan dengan para Migran yang luar biasa merepotkan. Tapi kenapa para Debu ini diperlakukan berbeda? Apa yang salah dengan para Debu?
            Si Kami tua itu kembali mendesah. Ayahanda menjawab bahwa para Debu adalah produk kutukan. Para Debu tidak akan pernah bisa kembali ke dunia Bawah karena para Debu tidak melahirkan apapun.
            Oke, aku rasa tidak ada yang salah dengan yang ini. Toh banyak dari Kami yang lebih memilih tinggal di Tengah.
            Tapi, Ayahanda menambahkan bahwa para Debu bisa menularkan kutukannya. Mereka seperti virus.
            Dan sejak saat itu aku menambah kesiagaanku. Bahkan saat di telaga pun aku membawa taringku.
            Aku tidak pernah menyangka bahwa dia juga akan berubah menjadi Debu. Aku dulu cukup mengenalnya. Dia Kami yang baik. Setidaknya dia selalu menyimpan taringnya dengan baik. Tentu sifatnya bertolak belakang dariku. Aku lebih suka berada di atas siapa pun, karena itulah aku tidak segan memperlihatkan taringku pada Kami atau kaum yang lain.
            Karena itulah aku sangsi ada Debu yang sengaja menularkan kutukannya pada dia. Atau kemungkinan yang paling mungkin, dialah yang mendekati salah satu Debu. Kadang dia bisa berlaku seolah-olah dia masih tinggal di dunia Bawah.
            Ah, jangan-jangan dia memang sudah terjangkit dari dulu? Tidak ada Kami yang bersikap seolah masih tinggal di dunia Bawah. Mungkin semua Debu menganggap Tengah adalah dunia Bawah, karena itu tidak ada satu pun dari Debu yang bisa kembali ke dunia  Bawah. Para Debu bisa, tapi mereka tidak mau.
            Tapi kalau benar begitu, apa bedanya para Debu dengan Kami yang gila itu?
            Kepalaku jadi sakit.
            Aku kembali memperhatikan dia yang masih menunduk. Suasana jadi mengerikan. Dari jarak ini aku bisa membayangkan hal yang tidak-tidak. Bisa saja dia mengeluarkan taringnya dan menusukku. Aku tidak akan bisa melawannya karena taringku hilang satu. Dan lagi, aku tidak tahu apakah taringnya besar atau kecil. Dia tidak pernah memperlihatkan taringnya.
            Ah, tapi jika taringnya lebih besar dariku, tidak mungkin aku yang menjadi panglima di sini. Lagi pula, dia kan masih menganggap bahwa ini dunia Bawah!
            Ah, aku terlalu banyak berpikir. Jika dia melakukan sesuatu yang tidak aku harapkan, aku bisa melawanya bukan? Atau yang lebih buruk (baginya) aku bisa membunuhnya.
            Dulu saat pertama kali aku mengenal apa itu Debu, aku pikir mereka adalah mahluk abadi. Semua tahu Kami yang melahirkan sesuatu akan kembali ke dunia Bawah. Tapi, semua juga tahu bahwa para Debu tidak bisa kembali ke sana, entah apa alasannya. Karena itulah aku berpikir para Debu akan selamanya tinggal di Tengah, atau Kiri, atau tempat persembunyiannya. Tapi, sebelum aku berpapasan dengan dia di persimpangan ini, aku melihat satu Debu berubah menjadi debu. Ya, aku tahu. Setiap Kami yang akan kembali ke dunia Bawah akan berubah menjadi cahaya, tapi Debu tadi tidak, dia berubah menjadi debu. Aku sekarang tahu kenapa para Debu dipanggil Debu, karena pada akhirnya, mereka akan menghilang sebagai debu. Mengerikan. Aku tidak bisa membayangkan jika aku yang seperti itu.
            Tunggu! Aku mengingat sesuatu. Beberapa tahun lalu, aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Ya! Karena ada satu Kami yang tiba-tiba begitu dekat dengannya. Oke, memang tidak ada yang aneh, aku pun menjalin hubungan dekat dengan Kami yang lain. Tapi, Kami yang ini dekat dengannya setelah para Burung menyebarkan berita bahwa dia berubah menjadi Debu. Jelas-jelas ini melanggar hukum adat.
            Beberapa waktu kemudian, para Burung menyebarkan berita baru. Ayahanda telah mengeluarkan titahnya. Kami itu harus menyerahkan taringnya. Dan setelahnya, Kami yang kehilangan taring itu menghilang.
            Aku ingin bertanya padanya, kemanakah perginya Kami itu? Mungkin aku terdengar begitu ingin ikut campur, dan itu bukan diriku yang biasanya. Tapi bagaimanapun juga, Kami itu adikku. Adik yang aku peroleh dari bundaku. Jadi, jika aku tidak menemukannya, bundaku tidak akan bisa kembali ke dunia Bawah. Dan bapaku tidak akan tenang di sana.
            Sialnya, baru aku membuka mulut, semilir angin menghempaskan tudungnya. Kini surai kelabunya terurai dimandikan bayang bulan yang tidak tertutup awan.
            Satu hal lagi perbedaan yang aku sadari. Kalau benar dia salah satu Debu (dan aku yakin itu), maka setiap Debu pastilah memiiki surai yang kelabu. Ini salah satu tanda. Setiap suku memiliki warna surai yang berbeda-beda. Kami misalnya, memiliki surai legam yang bisa membutakan mata, karena itu Kami selalu memakai tudung. Beda dengan para Migran yang surainya merah terbakar. Para Burung sendiri mempunyai surai putih yang indah. Dan untuk para Debu, aku yakin semua surainya kelabu. Persis seperti namanya.
            Tapi nama itu bukan nama asli para Debu. Nama itu hanya pemberian Kami.
            Tapi para Debu tidak sekali pun keberatan.
            Tapi entah kenapa aku mendekat padanya.
            Peringatan Ayahanda kembali terngiang di telingaku. Kamu harus menjauhinya! Lalu tidak berhenti di situ, aku juga mendengar suara lain. Ketahuilah, jika kamu terlalu dekat denganya, bisa saja kamu berubah menjadi Debu.
            Tapi, aku tetap tidak melakukannya. Menjauhinya maksudku. Aku tidak akan melakukan hal yang tidak aku inginkan. Aku ini panglima!
            Dia masih menunduk. Tudungnya masih terlepas. Akan sangat bahaya jika ada Kami, atau yang paling parah, para Burung yang melihatnya. Aku tidak tahu kenapa aku begitu perduli padanya, tapi aku tetap menarik tudung itu dan mengembalikannya. Sekilas, sekilas saja aku dapat merasakan lembut pipinya yang membelai tanganku. Dingin, tapi menyenangkan. Rupanya dia juga masih belia. Seperti aku.
            Ya, aku tahu betul mana Kami yang belia mana yang gila. Maksudku dengan gila adalah Kami yang tidak ingin kembali ke dunia Bawah. Kami gila itu tetap ingin tinggal di Tengah. Tidak ada satupun dari Kami-Kami itu yang melahirkan apapun karena takut dipaksa kembali ke dunia Bawah. Dan tugasku sebagai panglima untuk menghabisi para Kami gila itu.
            Aku baru sadar terlalu banyak membicarakan Kami, padahal dia bukanlah Kami lagi. Tapi aku tidak banyak tahu tentang para Debu. Aku rasa aku harus memulai mencari tahu dari Debu satu ini.
            Aku yakin dia akan jadi Kami yang mempunyai masa depan bagus di dunia Bawah. Aku yakin aka ada banyak jodoh pilihan yang ingin kembali bersamanya. Aku juga yakin dia akan menjadi bapa yang baik seperti bapaku. Aku yakin, yakin sekali, seandainya dia belum menjadi Debu. Tapi toh tidak ada salahnya juga jadi Debu bukan?
            Ah, aku jadi terdengar seperti Kami gila. Benar-benar gila!
            Saat dia mengangkat wajahnya, genderang itu bertabuh dengan keras. Ini bukan genderang perang, aku yakin, ini genderang yang lain. Apakah setelah ini dia akan memintaku melipir?
            Anehnya aku semakin mendekat.
            Aku rasa kutukan itu tertulah padaku. Tapi toh saat ini aku merasa tidak apa-apa. Jadi Debu pun tidak apa-apa. Benar, kan? Tidak apa-apa?
            Tapi kemudian aku ingat tujuanku ke persimpangan ini adalah untuk menemui jodoh pilihan milikku. Lagi pula aku ini panglima! Dan selama ini tidak ada panglima yang tidak kembali ke dunia Bawah, lebih tepatnya, panglima memang harus kembali ke dunia Bawah. Inilah tugas terakhirku. Ah, ini mimpiku.
            Jika aku dan dia memang jodoh, dan mungkin begitu mengingat apa yang tertulis di hukum adat, aku tetaplah tidak bisa bersamanya. Aku tidak akan bisa kembali bersamanya. Lagi pula Debu tidak bisa kembali! Dan jodoh tidak bisa berpisah. Maka aku tidak menerima jodoh ini.
            Ah, memang sejak kapan aku menerima jodoh?
            Toh sejak awal jodoh itu tidak benar. Tidak ada yang tahu hal ini, tapi aku tahu. Beratus-ratus tahun lalu, jodoh diawali dari kisah tragis. Dua Kami bertemu di persimpangan ini, tepat ketika bulan menggantung di langit yang tidak tertutup awan. Bayang-bayang bulan jatuh di tudung keduanya. Maka, mereka saling menarik satu sama lain. Sayang, saat tudung salah satu Kami terhempas, surai kelabulah yang terlihat di sana. Setelahnya, dia berubah menjadi debu. Kami satunyalah yang menusuknya.
            Awan tembali menutup bayang-bayang bulan. Aku rasa persimpangan ini telah mengaku kalah. Maka aku menarik diri dan melipir ke pinggir. Anehnya, dia masih menunduk di sana. Perlahan, digerakkannya mata merah itu padaku.
            Aku masih merasa tertarik.
            Tapi aku tetap meyakini bahwa kini menemui jodoh pilihan milikku dan melahirkan sesuatu adalah hal terbaik. Bukan, bukan, hal terbaik saat ini adalah kembali ke dunia bawah.
            Aku kembali melangkah di marmer yang berkarat. Di belakang, aku meninggalkan dia, aku meninggalkan segala hal tentang Debu, tentang Kami, tentang jodoh, tentang adikku yang menghilang, tentang segala ketertarikan ini.
            Yang tidak bisa aku tinggalkan hanyalah satu hal: kenapa kisah jodoh itu bisa kembali terjadi? Kenapa kisah itu harus menarik satu Kami yang sama?
            Aku.

Baik-buruk, benar-salah. Tidak ada hal yang pasti
mengenai itu semua. Yang ada hanyalah pandangan dan pilihan kita.
Juga keyakinan.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates